Review Film: Pernikahan Arwah. Horor Berbalut Budaya yang Penuh Ambisi, Tapi Gagal Menjadi Teror Mematikan
![]() |
Film Pernikahan Arwah/ |
MARIT TEKNO - Berbeda dari kebanyakan horor lokal, Pernikahan Arwah hadir dengan segudang ide segar dan ambisi tinggi. Film ini mencoba menggabungkan sentuhan budaya, estetika visual, dan cara bertutur yang unik demi menghadirkan pengalaman horor yang berbeda.
Sayangnya, film terbaru garapan Paul Agusta ini justru kesulitan dalam menyatukan berbagai elemen tersebut menjadi sebuah narasi yang solid dan kohesif.
Dikenal dengan judul internasional The Butterfly House, film ini memanfaatkan simbolisme kupu-kupu dalam budaya Tionghoa yang melambangkan cinta, kebebasan, dan transformasi.
Simbol tersebut sejalan dengan kisah yang menyoroti perjalanan hubungan Tasya (Zulfa Maharani) dan Salim (Morgan Oey), di mana persiapan pernikahan mereka mendadak diganggu oleh kabar kematian keluarga calon mempelai pria.
Rencana pemotretan pre-wedding yang semula akan dilakukan di Hong Kong terpaksa dipindahkan ke rumah masa kecil Salim di Jawa Tengah.
Bersama tim fotografer Febri (Jourdy Pranata), Harja (Ama Gerald), dan penata rias Arin (Puty Sjahrul), mereka tanpa sadar memasuki pusaran misteri kelam yang menyelimuti masa lalu keluarga Salim.
Meskipun tetap menggunakan beberapa formula khas horor Indonesia, seperti rumah tua berhantu dan lagu-lagu lawas yang mengundang nostalgia seram, Pernikahan Arwah menawarkan perspektif berbeda dengan menonjolkan budaya Tionghoa alih-alih klenik Jawa yang sudah terlalu sering digunakan dalam film horor lokal. Keunikan ini membuat film terasa segar dan lebih berwarna.
Dari sisi teknis, film ini berhasil memanjakan indra dengan visual yang menawan. Paul Agusta menyajikan atmosfer horor dengan tempo lambat dan minim jumpscare, namun tetap menanamkan ketegangan melalui elemen-elemen visual yang ganjil dan mengusik.
Setiap adegan dipenuhi dengan nuansa misterius yang menegaskan bahwa kita sedang berada dalam dunia yang dihantui sesuatu yang tak kasatmata.
Namun, di sinilah permasalahan utama muncul. Meskipun memiliki elemen-elemen menarik, Pernikahan Arwah gagal mengolahnya menjadi sebuah pengalaman horor yang benar-benar menyeramkan.
Desain hantunya memang unik dan memiliki sentuhan estetika khas budaya Tionghoa, tetapi penyajiannya kurang efektif dalam membangun rasa takut yang mendalam.
Salah satu contoh yang mencolok adalah adegan saat Tasya melakukan sembahyang pagi, tanpa sadar berada di samping jenazah leluhur Salim.
Secara konsep, adegan ini memiliki potensi besar untuk menjadi momen horor yang menghantui, tetapi eksekusi shot yang dipilih justru melemahkan dampaknya.
Selain itu, babak ketiga yang menggambarkan perjalanan menuju alam baka terasa seperti sebuah atraksi rumah hantu yang kurang meyakinkan.
Hal ini sangat disayangkan mengingat sebelumnya film sudah membangun pencapaian estetika yang begitu mengesankan.
Namun, akibat lemahnya pengadeganan, puncak cerita justru terasa antiklimaks dan kehilangan intensitas yang seharusnya menjadi klimaks dari perjalanan horor ini.
Ditambah lagi, naskah yang ditulis oleh Ario Sasongko dan Aldo Swastia terkesan terlalu berbelit-belit hingga sulit diikuti. Presentasi yang kurang rapi membuat alur cerita terasa kusut, sehingga setelah film berakhir, mencoba menceritakan ulang detail kisahnya beserta sebab-akibatnya menjadi tantangan tersendiri.
Beruntung, kehadiran Zulfa Maharani yang tampil cemerlang sebagai Tasya mampu sedikit menyelamatkan film ini. Emosi yang ia tampilkan begitu kuat, menjadikannya titik terang dalam narasi yang kacau.
Pada akhirnya, Pernikahan Arwah adalah film yang berani mencoba sesuatu yang baru dalam skena horor Indonesia, namun belum sepenuhnya berhasil mengeksekusinya dengan sempurna.
Film ini punya potensi besar, tetapi berbagai kelemahan dalam penyampaian cerita dan pembangunan atmosfer horor membuatnya belum mampu mencapai level yang diharapkan.
Meski demikian, bagi penonton yang menginginkan pengalaman horor dengan sentuhan budaya yang berbeda, film ini tetap layak untuk disimak.***