Review Film Flow (2024): Petualangan Epik Kucing Hitam dalam Banjir Bandang yang Menyentuh dan Sarat Makna
![]() |
Film Flow (2024) |
MARIT TEKNO - Dalam dunia animasi modern, jarang ada film yang berani mengisahkan petualangan tanpa satu kata pun terucap. Namun, sutradara asal Latvia, Gints Zilbalodis, berhasil menciptakan sesuatu yang luar biasa dalam Flow (2024).
Film ini menyajikan kisah tentang seekor kucing hitam yang bertahan hidup di tengah banjir bandang, membawa penonton ke dalam pengalaman emosional yang dalam tanpa perlu dialog apa pun.
Sejak awal, Flow sudah terasa berbeda dari fabel klasik. Jika umumnya fabel mengajarkan moralitas dengan membedakan tokoh baik dan jahat, Flow justru menghadirkan realitas yang lebih kompleks.
Para hewan dalam film ini bukan sekadar karakter dengan peran baik atau buruk, melainkan makhluk hidup yang berjuang untuk bertahan di tengah bencana.
Petualangan di Tengah Bencana
Film ini dimulai dengan kehidupan seekor kucing hitam di hutan. Dalam upayanya mencari makan, ia mencuri ikan dari sekelompok anjing liar dan langsung dikejar oleh mereka.
Namun, pengejaran itu terhenti saat sekawanan rusa berlari ketakutan, seolah melarikan diri dari sesuatu yang lebih besar.
Dalam sekejap, air datang bagaikan tsunami, melahap seluruh daratan, meninggalkan hanya segelintir makhluk yang berhasil bertahan.
Si kucing hitam akhirnya terbawa arus bersama seekor anjing retriever yang sebelumnya mengejarnya. Setelah berjuang menepi, ia menemukan tempat perlindungan di sebuah rumah tua yang dipenuhi patung kucing.
Menariknya, meski ada banyak peninggalan manusia, makhluk cerdas ini justru absen dari dunia Flow.
Saat air terus naik, si kucing mencari tempat yang lebih tinggi dan memanjat sebuah patung kucing raksasa di belakang rumahnya.
Namun, saat patung itu akhirnya tenggelam juga, sebuah kapal muncul dengan seekor kapibara di dalamnya.
Dari sinilah petualangan sesungguhnya dimulai. Seiring waktu, kapal ini menjadi rumah bagi berbagai makhluk yang terdampar—mulai dari lemur, sekelompok anjing, hingga burung sekretaris.
Banyak yang mungkin akan mengaitkan film ini dengan kisah Bahtera Nuh dalam ajaran agama. Namun, bedanya, dalam Flow, tidak ada sosok penyelamat. Para hewan harus bertahan sendiri, menghadapi bencana yang disebabkan oleh manusia tanpa adanya kehadiran makhluk cerdas tersebut.
Menyampaikan Makna Tanpa Kata-Kata
Salah satu kekuatan utama Flow adalah kemampuannya untuk bercerita hanya melalui ekspresi dan gerakan para hewan.
Tidak ada dialog, namun emosi tetap terasa kuat. Kita bisa melihat ketakutan, keberanian, dan bahkan kehangatan dari interaksi antarhewan.
Selain itu, film ini juga menyentuh isu lingkungan secara halus namun tajam. Flow seolah mengingatkan kita bahwa ketika manusia terus merusak alam, bukan hanya kita yang harus menghadapi konsekuensinya, tetapi juga makhluk lain yang tidak bersalah.
Visual yang Memukau dan Musik yang Menyentuh
Dari segi visual, animasi dalam Flow terlihat luar biasa. Zilbalodis menggunakan sudut pandang yang dinamis untuk menangkap petualangan si kucing hitam dengan cara yang tidak biasa.
Pergerakan kamera yang mulus menciptakan sensasi imersif, seolah-olah kita ikut berada di atas kapal bersama para hewan.
Musik juga memainkan peran penting dalam film ini. Tanpa dialog, Flow mengandalkan komposisi musik yang menghanyutkan untuk membangun suasana—mulai dari ketegangan saat menghadapi bencana hingga momen-momen kehangatan ketika para hewan mulai saling memahami dan bekerja sama.
Kesimpulan: Sebuah Fabel Modern yang Menggugah
Flow (2024) bukan sekadar film animasi biasa. Ia adalah sebuah fabel modern yang menyampaikan pesan mendalam tentang kehidupan, kerja sama, dan dampak manusia terhadap alam.
Dengan animasi yang indah, narasi yang kuat meskipun tanpa dialog, serta isu lingkungan yang relevan, film ini menjadi pengalaman yang wajib ditonton.
Bagi siapa pun yang mencari kisah yang unik, penuh makna, dan menyentuh hati, Flow adalah pilihan yang tidak boleh dilewatkan.***